Friday, December 31, 2010

Bertahan dan Bersabar (perjalanan[1])

Perjalanan Jatibening-Bandung pekan ini , saya putuskan untuk mengambil jalur lain yaitu lewat Cileuunyi. Akhirnya saya mendapatkan bus Jakarta-Tasik via Cileunyi. Ternyata kursi di dalam bus sudah terisi semua dan sebagian penumpang berdiri, namun mengingat sudah sangat sore dan khawatir kemalaman maka saya berusaha bersiap diri untuk berdiri sampai Cileunyi. Hampir dua jam saya berdiri,  macet, kaki sudah sakit, tangan juga mulai pegal karena pegangan erat ke batang besi, ditambah lutut yang sakit karena sempat terseret ketika bus direm mendadak. Kondisi tubuh yang lelah karena seharian dalam sepekan ini jadwal begitu padat. Namun saya mencoba tetap bertahan meski sudah mulai limbung dan rasanya mau pingsan. Alhamdulillah pada setengah jam terakhir sebelum sampai di Cileunyi, ada seorang Bapak yang menawarkan tempat duduknya. Mungkin merasa kasihan melihat raut wajah saya yang sudah mulai terlihat pusing karena berdiri lama. ‘Ala kulli hal, semuanya terjadi atas kehendak Allah Yang Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Dan subhanallah…..ketika saya mulai duduk, kenikmatan yang luar biasa saya rasakan setelah bertahan sekitar dua jam. Mencoba melemaskan badan yang hampir kaku di atas kursi bus. Kenikmatan yang mungkin tidak pernah terpikirkan ketika saya menaiki bus seperti biasa dan mendapatkan tempat duduk seperti biasa juga. Saya mencoba memanfaatkan setengah jam terakhir untuk merenung. Jika direnungi, tidak ada apa-apanya segala yang saya rasakan tadi jika dibandingkan pengorbanan para mujahidin di Gaza! Jauh…malu…
Bertahan dan bersabar. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat ketika menghadapi segenap penyiksaan kaum Quraisy terlebih saat dakwah mulai memasuki jahriyatud da’wah. Itulah yang dilakukan Rasulullah ketika dilempari kotoran binatang. Itulah yang dilakukan keluarga Amr bin Yasir ketika diancam untuk dibunuh. Itulah yang dilakukan Bilal bin Rabah ketika batu besar dihimpitkan di atas perutnya di tengah panas gurun yang menyengat. Ya. Bertahan dan bersabar untuk tetap memegang suatu keyakinan. Begitu juga dengan para mujahidin, saudara-saudara kita di Gaza, dan belahan bumi lainnya yang berjuang menegakkan dien-Nya. Keyakinan akan datangnya kenikmatan yang luar biasa yang hanya dirasakan kelak di Jannah-Nya. Kerinduan terhadap sesuatu yang belum pernah dirasakan karena hanya akan dirasakan kelak di jannah-Nya. Kerinduan itu sangat besar hingga mampu untuk tetap bertahan dan bersabar memperjuangkan dien-Nya. Ya. Karena keimanan yang sangat kokoh dalam setiap diri pribadinya.
Teman, ingatkan dan ajarkan saya untuk bisa bertahan dan bersabar dalam setiap kebaikan…hingga saatnya tiba pemutus segala kenikmatan dunia.

Isyarat,,,



Suatu malam di sebuah rumah, seorang anak usia tiga tahun sedang menyimak sebuah suara. "Ting...ting...ting! Ting...ting...ting!" Pikiran dan matanya menerawang ke isi rumah. Tapi, tak satu pun yang pas jadi jawaban.
"Itu suara pedagang bakso keliling, Nak!" suara sang ibu menangkap kebingungan anaknya. "Kenapa ia melakukan itu, Bu?" tanya sang anak polos. Sambil senyum, ibu itu menghampiri. "Itulah isyarat. Tukang bakso cuma ingin bilang, 'Aku ada di sekitar sini!" jawab si ibu lembut.
Beberapa jam setelah itu, anak kecil tadi lagi-lagi menyimak suara asing. Kali ini berbunyi beda. Persis seperti klakson kendaraan. "Teeet...teeet....teeet!"
Ia melongok lewat jendela. Sebuah gerobak dengan lampu petromak tampak didorong seseorang melewati jalan depan rumahnya. Lagi-lagi, anak kecil itu bingung. Apa maksud suara itu, padahal tak sesuatu pun yang menghalangi jalan. Kenapa mesti membunyikan klakson. Sember lagi!
"Anakku. Itu tukang sate ayam. Suara klakson itu isyarat. Ia pun cuma ingin mengatakan, 'Aku ada di dekatmu! Hampirilah!" ungkap sang ibu lagi-lagi menangkap kebingungan anaknya. "Kok ibu tahu?" kilah si anak lebih serius. Tangan sang ibu membelai lembut rambut anaknya.
"Nak, bukan cuma ibu yang tahu. Semua orang dewasa pun paham itu. Simak dan pahamilah. Kelak, kamu akan tahu isyarat-isyarat itu!" ucap si ibu penuh perhatian.
***
Di antara kedewasaan melakoni hidup adalah kemampuan menangkap dan memahami isyarat, tanda, simbol, dan sejenisnya. Mungkin, itulah bahasa tingkat tinggi yang dianugerahi Allah buat makhluk yang bernama manusia.
Begitu efesien, begitu efektif. Tak perlu berteriak, tak perlu menerabas batas-batas etika; orang bisa paham maksud si pembicara. Cukup dengan berdehem 'ehm' misalnya, orang pun paham kalau di ruang yang tampak kosong itu masih ada yang tinggal.
Di pentas dunia ini, alam kerap menampakkan seribu satu isyarat. Gelombang laut yang tiba-tiba naik ke daratan, tanah yang bergetar kuat, cuaca yang tak lagi mau teratur, angin yang tiba-tiba mampu menerbangkan rumah, dan virus mematikan yang entah darimana sekonyong-konyong hinggap di kehidupan manusia.
Itulah bahasa tingkat tinggi yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang dewasa. Itulah isyarat Tuhan: "Aku selalu di dekatmu, kemana pun kau menjauh!"
Simak dan pahamilah. Agar, kita tidak seperti anak kecil yang cuma bisa bingung dan gelisah dengan kentingan tukang bakso dan klakson pedagang sate ayam. (muhammadnuh@eramuslim.com)