Monday, February 6, 2012

Mendidik Anak ala Iklan...



Jika kita cermati berbagai iklan di televisi saat ini tentang tumbuh kembang anak, maka sebagian besar dari kita disuguhkan iklan berkisar produk susu, makanan, hingga pencernaan bagi anak kita. Tidak sampai disana, para produsen seakan mencoba meyakinkan kita tentang pentingnya asupan makanan bagi anak kita dimana jika tidak terpenuhi akan mengganggu kecerdasannya di kemudian hari. Tanpa disadari para ibu sudah terjebak pada pengertian bahwa bayi diproduk sebagai mesin yang akan berkembang hanya dalam pemenuhan wilayah ketubuhan saja. Seiring dengan perkembangan media massa yang banyak memberikan pengaruh pada pola pikir sebagian mayarakat di negara kita, maka para ibu mulai menitiktekankan pentingnya aktifitas pemenuhan unsur biologis dibanding konten lainnya. Bukan berarti aspek biologis tidak penting dan tidak butuh perhatian dalam proses perkembangan anak, namun kecenderungan saat ini adalah mengesampingkan aspek-aspek lain disamping aspek biologis dalam proses perkembangan bayi. Padahal dalam Islam sudah jelas perhatian terhadap perkembangan anak ini menghendaki adanya keseimbangan dalam semua aspek, baik ketauhidan, akhlak dan moral, pemikiran maupun biologis. Kalau kita berkaca tentang hal tersebut dengan memperhatikan tayangan iklan atau film di negara kita, nyaris tidak ada iklan menghafal dan mengkaji Al-Qur’an bagi anak-anak di televisi kita atau bahkan iklan –iklan tentang pentingnya pendidikan moral bagi anak-anak. Lalu wajar juga jika banyak masyarakat sekarang menjadi manusia yang jauh dari nilai-nilai agama karena dalam pertumbuhan dan perkembangannya jauh dari niali-nilai tersebut. Hal ini bukan merupakan hal sepele dan masalah jangka pendek saja karena anak-anak adalah cikal bakal mayarakat yang akan datang. Keadaannya di saat menjadi manusia dewasa sangat dipengaruhi oleh perkembangannya di masa kecil. Banyak orangtua Muslim di masyarakat kita yang belum mengetahui pentingnya konten-konten lain disamping konten biologis sehingga terjebak pada proses perkembangan anak yang kosong dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Bahkan secara fitrahnya anak-anak sudah terikat janji kepada Allah untuk selalu online di jalan kebenaran sejak di alam ruh “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (Al A’raf 172)
Konsekuensi tersebut mengajak kita untuk tidak hanya melihat anak pada asupan ketubuhan, yang tidak hanya melihat anak kecil sebagai makhluk lugu yang belum memiliki jiwa. Disamping itu, Rasulullah juga mengatakan justru orangtualah yang sebenarnya menjadikan anaknya thoghut dan kafir.
“Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas kedua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempurna, apakah kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?” Astaghfirullah.
Tidak hanya dalam konten ketauhidan, dengan tampilan periklanan di media yang menjelaskan tentang kebutuhan biologis anak-anak, kita sudah digiring untuk hanya membentuk anak dalam aspek biologis saja. Orangtua hampir habis mengeluarkan uangnya untuk membelikan hal-hal yang bersifat biologis ketimbang memberinya materi khusus tentang makna sebuah ilmu dan agama.
Ini bukan berarti kita dilarang untuk membelikan segala produk ketubuhan bagi bayi sama sekali, namun yang menjadi masalah adalah kita telah terjebakuntuk membawa anak pada pemahaman bahwa dunia adalah segala. Bahwa Islam adalah kalimat kedua. Sedang Al Qur’an adalah lembar tulis yang “lebih murah” daripada HP berlayar kaca. Kalau kita hitung berapa banyak sebenarnya uang kita habis untuk membeli produk-produk ketubuhan ketimbang habis untuk membelikan anak kita sebuah buku. Padahal sebenarnya adalah kesia-siaan jika kita memenuhi asupan gizi kecerdasan anak, jika kita sendiri justru tidak mampu membentuk iklim keluarga dalam menyalurkan potensi kecerdasan anak.
Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim Al Jauzi  mewanti-wanti orangtua yang tidak memenuhi hak ilmu bagi anak dengan sebutan perusak. “Barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya dengan hal-hal yang bermanfaat serta meninggalkannya secara sia-sia, maka berarti telah berbuat buruk kepada anak seburuk-buruknya. Kebanyakan anak menjadi rusak adalah disebabkan orang tuanya, karena tidak adanya perhatian kepada mereka, serta tidak diajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan sunah-sunnahnya.”
Oleh karenanya, kita harus hati-hati untuk tidak terbentur pada pemaknaan biologis dan kesenangan  tapi kemudian melupakan visi jangka panjang tentang asupan ilmu bagi anak. Kecintaan anak pada ilmu dapat dibentuk bagaimana orangtuanya juga memperlakukan ilmu.
Maka dari itu, Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam sebuah risalahnya akhirnya memang menitiktekankan betapa potensi kecerdasan lebih penting untuk kita perhatikan ketimbang sekedar kesenangan belaka. Beliau menyeret nuansa keilmuan dan kepustakaan sebagai elemen terpenting dalam membentuk karakter asasi kanak-kanak, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam, biografi Salafus Sholih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai negeri, dan semisalnya”
Generasi Rabbani seperti Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyyah, Sayyid Quthb, dan Taqiyudin An Nabhani bukanlah sederetan generasi ulama yang ditempuh dalam satu proses lalu usai. Mereka adalah barisan kalimat panjang yang dimulai dari habitasi memperjuangkan kebenaran Islam sejak dini. Dalam naungan jaminan keluarga pecinta ilmu dan penikmat buku yang memiliki peranan penting dalam meretas paradigma pendidikan usia dini yang pasti Islami. Sebab Rasulullah pernah bersaba, Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air. (HR ath-Thabrani dari Abu Darda’ ra).



Ringkasan dari : Kekeliruan dalam Mendidik Anak ala Barat yang diadopsi Umat Islam/www.eramuslim.com (dengan beberapa penambahan)



No comments:

Post a Comment