AKhirnya kita bisa belajar dari banyak teladan dalam Islam bahwa dunia ini bukan segalanya. Para ulama-ulama terdahulu adalah mereka yang sejak kecilnya justru susah, hidup dalam kemiskinan tapi mampu tampil sebagai pilar memapah Islam dengan kekuatan tauhid dan ilmu yang menyala-nyala.
Salah satu kisah itu dapat kita ambil hikmahnya dalam sekat perjalanan seorang Ulama Besar Islam bernama Imam Syafi’i. Imam an-Nawawi pernah menceritakan bagaimana peran seorang orangtua perempuan di belakang penguasaan Imam Syafi‘i terhadap fiqh. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan kesetiaannya berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam Syafi’i menjadi ilmuwan sejati hingga saat ini.
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi jangka panjang tentang arti, Tauhid, Ilmu, dan Keharusan membawa nama harum sang anak ke hadapan Allahuta’ala. Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak menghalangi sang ibu untuk menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan agama yang terbaik di Mekkah. Sang ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun dan kecintaananya terhadap Allah dan ilmu dari kedua ibu dan anak ini meluluhkan hati sang guru untuk rela mengajar sang Imam meski tanpa dominasi finansi.
Imam Syafi‘i pernah bertutur betapa aroma ketauhidan yang kukuh dan nuansa keilmuan yang kuat adalah dua karakter investasi yang membentuk kepribadian hakiki, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.”
Dan dengan segera, guru itu kemudian mengangkat sang pangeran ilmu sebagai penggantinya, mengawasi murid-murid lain jika beliau berhalangan hadir. Bahkan dengan cepat Imam Syafi’i berhasil merampungkan hafalan Qur’an di al-Kuttab, lalu kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu. Imam Syafi’i kemudian berguru fiqih kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji dengan tingkat kecepatan menguasai ilmu dalam jangka waktu relatif cepat.
Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang ajaib itu sehingga beliau mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Bayangkan di usia semuda itu Imam Syafi’i telah menjelma menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah. Inilah buah dari salah satu kerja keras dari seorang ibu yang lebih banyak memberi ilmu ketimbang mainan. Yang lebih banyak berusah payah memberi asupan buku ketimbang jalan-jalan.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi’i tak sama sekali membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu. Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis Islam. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi’i menceritakan hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah keinginan seorang anak untuk menambah Ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang bunda menolak. Berat baginya melepaskan Syafi'i, dalam sebuah kondisi dimana beliau berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di hari tua. Demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu, demi rasa cinta seorang pecinta ilmu kepada seorang bernama ibu. Meskipun demikian akhirnya sang ibunda mengizinkan Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.
Sebelum melepaskan Syafi'i berangkat, ibunda tersayang Imam Syafi’i menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah jatuh hati pada ilmu,
"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"
"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"
Setelah usai berdo'a, sang ibu memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat sedih betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata dari wajahnya, sang ibu berpesan, "Pergilah anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan!” Subhanallah
Selepas do’a itu terlantun syahdu, Imam Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita paling tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo'akan untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu. Imam Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi dengan lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada seorang ibu yang telah memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama besar yang akan kenang sampai kiamat menjelang.
Oleh karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan perbekalan yang sama sekali minim, kecuali cintanya yang telah tertumpah ruah kepada sang ibu. Imam Syafi'i mengisahkan perpisahan dengan ibunya dengan mengatakan, "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih terjegat diluar pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabus pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh berkah, tanpa membawa sedikitpun bekalan uang. Apa yang menjadi bekalan bagi diriku hanyalah keteguhan iman dan hati penuh tawakkal kepada Allahuta’ala. Serta do'a restu ibuku."
Bayangkan bagaimana peran yang ditopang seorang ibu yang selalu memasrahkan buah hatinya kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang menyala-nyala. Inilah karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa raga anaknya hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka pengabdian kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa suami, membesarkannya, hingga mengantar Syafi’i menjadi Imam Besar Umat Islam hingga kini. Itulah esensi pendidikan sejati. Pendidikan yang mustahil terbayar dengan gelimangan uang dan kompleksitas intsrumentasi.
Eksistensi yang mustahil ditemui dalam program-program pendidikan anak usia dini yang menjadikan tauhid dan kecintaan terhadap ilmu sebagai esensi kedua, ketiga, dan keempat setelah status kaya.
Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari hal ini. Bahwa anak adalah investasi amal kita dalam rangka pengabdian kita kepada Allah. Semoga kita juga tidak terjebak pada pemenuhan kebutuhan anak yang semu dan offline dari aturan Allah Subhana Wa Ta’ala. Karena Kita, anak kita, dan kecintaan kita kepada Allah adalah tiga kata yang harus kita ingat betul jika ingin sukses di akhirat maupun dunia.
“Apabila manusia telah mati, maka terputuslah amal pahalanya kecuali tiga perkara: Amal Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, atau anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
Wallahua’lam.
Wallahua’lam.
(www.eramuslim.com)

No comments:
Post a Comment