Monday, February 6, 2012

Mendidik Anak ala Iklan...



Jika kita cermati berbagai iklan di televisi saat ini tentang tumbuh kembang anak, maka sebagian besar dari kita disuguhkan iklan berkisar produk susu, makanan, hingga pencernaan bagi anak kita. Tidak sampai disana, para produsen seakan mencoba meyakinkan kita tentang pentingnya asupan makanan bagi anak kita dimana jika tidak terpenuhi akan mengganggu kecerdasannya di kemudian hari. Tanpa disadari para ibu sudah terjebak pada pengertian bahwa bayi diproduk sebagai mesin yang akan berkembang hanya dalam pemenuhan wilayah ketubuhan saja. Seiring dengan perkembangan media massa yang banyak memberikan pengaruh pada pola pikir sebagian mayarakat di negara kita, maka para ibu mulai menitiktekankan pentingnya aktifitas pemenuhan unsur biologis dibanding konten lainnya. Bukan berarti aspek biologis tidak penting dan tidak butuh perhatian dalam proses perkembangan anak, namun kecenderungan saat ini adalah mengesampingkan aspek-aspek lain disamping aspek biologis dalam proses perkembangan bayi. Padahal dalam Islam sudah jelas perhatian terhadap perkembangan anak ini menghendaki adanya keseimbangan dalam semua aspek, baik ketauhidan, akhlak dan moral, pemikiran maupun biologis. Kalau kita berkaca tentang hal tersebut dengan memperhatikan tayangan iklan atau film di negara kita, nyaris tidak ada iklan menghafal dan mengkaji Al-Qur’an bagi anak-anak di televisi kita atau bahkan iklan –iklan tentang pentingnya pendidikan moral bagi anak-anak. Lalu wajar juga jika banyak masyarakat sekarang menjadi manusia yang jauh dari nilai-nilai agama karena dalam pertumbuhan dan perkembangannya jauh dari niali-nilai tersebut. Hal ini bukan merupakan hal sepele dan masalah jangka pendek saja karena anak-anak adalah cikal bakal mayarakat yang akan datang. Keadaannya di saat menjadi manusia dewasa sangat dipengaruhi oleh perkembangannya di masa kecil. Banyak orangtua Muslim di masyarakat kita yang belum mengetahui pentingnya konten-konten lain disamping konten biologis sehingga terjebak pada proses perkembangan anak yang kosong dari nilai-nilai Islam itu sendiri. Bahkan secara fitrahnya anak-anak sudah terikat janji kepada Allah untuk selalu online di jalan kebenaran sejak di alam ruh “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (Al A’raf 172)
Konsekuensi tersebut mengajak kita untuk tidak hanya melihat anak pada asupan ketubuhan, yang tidak hanya melihat anak kecil sebagai makhluk lugu yang belum memiliki jiwa. Disamping itu, Rasulullah juga mengatakan justru orangtualah yang sebenarnya menjadikan anaknya thoghut dan kafir.
“Tidak seorang bayi pun kecuali dia terlahir berdasarkan fitrah. Lantas kedua orangtuanya-lah yang menjadikan dia seorang Yahudi, Nashrani, maupun Majusi. Sebagaimana binatang yang melahirkan anak dengan sempurna, apakah kalian rasa ada cacat pada anak binatang tersebut?” Astaghfirullah.
Tidak hanya dalam konten ketauhidan, dengan tampilan periklanan di media yang menjelaskan tentang kebutuhan biologis anak-anak, kita sudah digiring untuk hanya membentuk anak dalam aspek biologis saja. Orangtua hampir habis mengeluarkan uangnya untuk membelikan hal-hal yang bersifat biologis ketimbang memberinya materi khusus tentang makna sebuah ilmu dan agama.
Ini bukan berarti kita dilarang untuk membelikan segala produk ketubuhan bagi bayi sama sekali, namun yang menjadi masalah adalah kita telah terjebakuntuk membawa anak pada pemahaman bahwa dunia adalah segala. Bahwa Islam adalah kalimat kedua. Sedang Al Qur’an adalah lembar tulis yang “lebih murah” daripada HP berlayar kaca. Kalau kita hitung berapa banyak sebenarnya uang kita habis untuk membeli produk-produk ketubuhan ketimbang habis untuk membelikan anak kita sebuah buku. Padahal sebenarnya adalah kesia-siaan jika kita memenuhi asupan gizi kecerdasan anak, jika kita sendiri justru tidak mampu membentuk iklim keluarga dalam menyalurkan potensi kecerdasan anak.
Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim Al Jauzi  mewanti-wanti orangtua yang tidak memenuhi hak ilmu bagi anak dengan sebutan perusak. “Barang siapa yang melalaikan pendidikan anaknya dengan hal-hal yang bermanfaat serta meninggalkannya secara sia-sia, maka berarti telah berbuat buruk kepada anak seburuk-buruknya. Kebanyakan anak menjadi rusak adalah disebabkan orang tuanya, karena tidak adanya perhatian kepada mereka, serta tidak diajarkan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan sunah-sunnahnya.”
Oleh karenanya, kita harus hati-hati untuk tidak terbentur pada pemaknaan biologis dan kesenangan  tapi kemudian melupakan visi jangka panjang tentang asupan ilmu bagi anak. Kecintaan anak pada ilmu dapat dibentuk bagaimana orangtuanya juga memperlakukan ilmu.
Maka dari itu, Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam sebuah risalahnya akhirnya memang menitiktekankan betapa potensi kecerdasan lebih penting untuk kita perhatikan ketimbang sekedar kesenangan belaka. Beliau menyeret nuansa keilmuan dan kepustakaan sebagai elemen terpenting dalam membentuk karakter asasi kanak-kanak, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam, biografi Salafus Sholih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah perjalanan para ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai negeri, dan semisalnya”
Generasi Rabbani seperti Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyyah, Sayyid Quthb, dan Taqiyudin An Nabhani bukanlah sederetan generasi ulama yang ditempuh dalam satu proses lalu usai. Mereka adalah barisan kalimat panjang yang dimulai dari habitasi memperjuangkan kebenaran Islam sejak dini. Dalam naungan jaminan keluarga pecinta ilmu dan penikmat buku yang memiliki peranan penting dalam meretas paradigma pendidikan usia dini yang pasti Islami. Sebab Rasulullah pernah bersaba, Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air. (HR ath-Thabrani dari Abu Darda’ ra).



Ringkasan dari : Kekeliruan dalam Mendidik Anak ala Barat yang diadopsi Umat Islam/www.eramuslim.com (dengan beberapa penambahan)



Sunday, February 5, 2012

Belajar Dari Orangtua Imam Syafi’i




AKhirnya kita bisa belajar dari banyak teladan dalam Islam bahwa dunia ini bukan segalanya. Para ulama-ulama terdahulu adalah mereka yang sejak kecilnya justru susah, hidup dalam kemiskinan tapi mampu tampil sebagai pilar memapah Islam dengan kekuatan tauhid dan ilmu yang menyala-nyala.
Salah satu kisah itu dapat kita ambil hikmahnya dalam sekat perjalanan seorang Ulama Besar Islam bernama Imam Syafi’i. Imam an-Nawawi pernah menceritakan bagaimana peran seorang orangtua perempuan di belakang penguasaan Imam Syafi‘i terhadap fiqh. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan kesetiaannya berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam Syafi’i menjadi ilmuwan sejati hingga saat ini.
Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi jangka panjang tentang arti, Tauhid, Ilmu, dan Keharusan membawa nama harum sang anak ke hadapan Allahuta’ala. Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak menghalangi sang ibu untuk menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan agama yang terbaik di Mekkah. Sang ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun dan kecintaananya terhadap Allah dan ilmu dari kedua ibu dan anak ini meluluhkan hati sang guru untuk rela mengajar sang Imam meski tanpa dominasi finansi.
Imam Syafi‘i pernah bertutur betapa aroma ketauhidan yang kukuh dan nuansa keilmuan yang kuat adalah dua karakter investasi yang membentuk kepribadian hakiki, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, “Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.”
Dan dengan segera, guru itu kemudian mengangkat sang pangeran ilmu sebagai penggantinya, mengawasi murid-murid lain jika beliau berhalangan hadir. Bahkan dengan cepat Imam Syafi’i berhasil merampungkan hafalan Qur’an di al-Kuttab, lalu kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu. Imam Syafi’i kemudian berguru fiqih kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji dengan tingkat kecepatan menguasai ilmu dalam jangka waktu relatif cepat.
Az-Zanji kemudian mengakui kemampuan muridnya yang ajaib itu sehingga beliau mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Bayangkan di usia semuda itu Imam Syafi’i telah menjelma menjadi mufti di Masjid Al-Haram Makkah. Inilah buah dari salah satu kerja keras dari seorang ibu yang lebih banyak memberi ilmu ketimbang mainan. Yang lebih banyak berusah payah memberi asupan buku ketimbang jalan-jalan.
Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi’i tak sama sekali membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu. Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis Islam. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.
Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi’i menceritakan hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah keinginan seorang anak untuk menambah Ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang bunda menolak. Berat baginya melepaskan Syafi'i, dalam sebuah kondisi dimana beliau berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di hari tua. Demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu, demi rasa cinta seorang pecinta ilmu kepada seorang bernama ibu. Meskipun demikian akhirnya sang ibunda mengizinkan Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.
Sebelum melepaskan Syafi'i berangkat, ibunda tersayang Imam Syafi’i menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah jatuh hati pada ilmu,
"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"
Setelah usai berdo'a, sang ibu memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat sedih betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata dari wajahnya, sang ibu berpesan, "Pergilah anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan!” Subhanallah
Selepas do’a itu terlantun syahdu, Imam Syafi'i mencium tangan ibunya dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita paling tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo'akan untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu. Imam Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi dengan lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada seorang ibu yang telah memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama besar yang akan kenang sampai kiamat menjelang.
Oleh karena kehidupannya yang sangat miskin, maka Syafi'i berangkat dengan perbekalan yang sama sekali minim, kecuali cintanya yang telah tertumpah ruah kepada sang ibu. Imam Syafi'i mengisahkan perpisahan dengan ibunya dengan mengatakan, "Sesekali aku menoleh kebelakang untuk melambaikan tangan kepada ibuku. Dia masih terjegat diluar pekarangan rumah sambil memperhatikan aku. Lama-kelamaan wajah ibu menjadi samar ditelan kabus pagi. Aku meninggalkan kota Makkah yang penuh berkah, tanpa membawa sedikitpun bekalan uang. Apa yang menjadi bekalan bagi diriku hanyalah keteguhan iman dan hati penuh tawakkal kepada Allahuta’ala. Serta do'a restu ibuku."
Bayangkan bagaimana peran yang ditopang seorang ibu yang selalu memasrahkan buah hatinya kepada Allah berserta kekuatan tauhid yang menyala-nyala. Inilah karakter sejati seorang ibu yang telah menyerahkan jiwa raga anaknya hanya kepada ilmu. Menyerahkan segala aktivitasnya dalam rangka pengabdian kepada Allah. Dari mulai ia melahirkan, mengasuhnya tanpa suami, membesarkannya, hingga mengantar Syafi’i menjadi Imam Besar Umat Islam hingga kini. Itulah esensi pendidikan sejati. Pendidikan yang mustahil terbayar dengan gelimangan uang dan kompleksitas intsrumentasi.
Eksistensi yang mustahil ditemui dalam program-program pendidikan anak usia dini yang menjadikan tauhid dan kecintaan terhadap ilmu sebagai esensi kedua, ketiga, dan keempat setelah status kaya.
Semoga kita dapat memetik pelajaran berharga dari hal ini. Bahwa anak adalah investasi amal kita dalam rangka pengabdian kita kepada Allah. Semoga kita juga tidak terjebak pada pemenuhan kebutuhan anak yang semu dan offline dari aturan Allah Subhana Wa Ta’ala. Karena Kita, anak kita, dan kecintaan kita kepada Allah adalah tiga kata yang harus kita ingat betul jika ingin sukses di akhirat maupun dunia.
“Apabila manusia telah mati, maka terputuslah amal pahalanya kecuali tiga perkara: Amal Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, atau anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
Wallahua’lam.
(www.eramuslim.com)

Monday, January 23, 2012

Belajar dari Angin


Suatu pagi yang cerah di pegunungan Lembang dilengkapi dengan buaian angin mampu mengantarkanku pada renungan tentang makna angin. Mari belajar dari angin. Masih ingatkah kawan bahwa angin adalah sebutan khusus untuk udara yang bergerak? Baik karena perbedaan suhu, tekanan udara ataupun akibat benda yang bergerak yang mendorong pergerakan udara. Apapun penyebabnya, angin adalah udara yang bergerak. Bergerak…kawan.

Angin adalah udara yang  tak terlihat. Namun angin bisa terasa karena pergerakannya. Dan yang terlihat dari angin adalah akibat yang ditimbulkannya. Kita bisa melihat layang-layang terbang, daun-daun yang bergoyang pada tangkainya, atau bangunan-bangunan yang rusak karena angin. Kita juga mendapati air laut yang bergerak membentuk gelombang karena adanya pergerakan udara (angin). Akibat dari pergerakannya bisa kita lihat dan rasakan meski angin-sang pelaku-tidak terlihat. Dan mungkin kita masih ingat bahwa udara adalah bagian dagi gas dimana gaya tarik menarik antar molekulnya sangat lemah dibandingkan benda padat ataupun zat cair. Namun kita lihat bahwa udara yang bergerak mampu mengalahkan zat cair dan benda padat sekalipun. Itulah kekuatan dari sesuatu yang bergerak.  Kelemahan gaya tarik menarik antar molekulnya juga menyebabakan udara memiliki partikel yang mudah terpencar menempati ruangan yang ada. Kelemahan yang dimilikinya tidak menyebabkan udara untuk mengurungkan niatnya untuk terus bergerak.

Begitulah karakter angin yang dengan pergerakannya mampu menggerakkan dan mengalahkan benda lain yang lebih kuat, mampu menempatkan diri dimanapun, serta terus bergerak dan memberikan manfaat untuk kehidupan manusia meski tidak terlihat dan terkadang terlupakan oleh manusia sendiri. Begitulah angin mengajarkan kita untuk terus bergerak. Meski kita tahu akan segala  kelemahan diri kita. Dengan bergeraklah kita akan merasakan hidup lebih hidup. Kawan, mari belajar dari angin, terus bergerak untuk menggapai cita-cita tertinggi kita. Maka bergeraklah atau tergantikan!

Mari membaca kembali satu pesan dari Muhammad Iqbal, sebuah puisi yang bisa dijadikan renungan tentang bergerak :
“The life of this world consists of movement
This is the established law of the world
#
on this road halt is out of place
a state condition means death
#
Those on the move have gone ahead
Those who tarried even a while got crashed”
Dunia ini terus bergerak, maka bergerak itu sendiri adalah sebuah kemestian.
Lembang, 23 Januari 2012

Tuesday, December 27, 2011

Pertemuan di Penghujung Tahun


Fatimah Ha’ Yo *), itulah sebuah nama yang pengucapannya beberapa kali diajarkan oleh si pemilik nama dari negeri Gajah Putih. Pertemuan singkat itu memberikan kesan yang mendalam bagi saya pribadi. Kami dipertemukan dalam sebuah acara perkemahan Muslim yang melibatkan beberapa negara ASEAN dengan tema “Satu Rumpum Satu Matlamat”. Tema tersebut semakin menguatkan keyakinan kami akan sebuah matlamat yang sama meski kami memiliki banyak perbedaan dalam hal bahasa, batas geografis, adat istidt dan lainnya.
Ucapan salam dan jabatan tangan pertama seakan menghilangkan segala pembatas diantara kami. Perbedaan bahasa pun tidak menyebabkan kami berada dalam kekakuan untuk saling menceritakan pengalaman di negara masing-masing. Sosok yang kulihat itu adalah seorang perempuan berbalut jilbab rapi dan sangat lembut. Meski dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama non-muslim, namun tidak melunturkan tekadnya untuk berbusana muslimah bahkan menjadi pejuang penebar dakwah Islam di negeri tersebut. Satu hal lagi yang membuat saya terkesan terhadapnya adalah kerelaannya melepaskan ukiran namanya yang tertempel di jilbab lebarnya persis setelah jabatan tangan dan salam, sebelum percakapan dimulai , tanpa sepatah kata pun. Hanya senyuman manis dan tatapan lembut yang mengiringinya ketika mulai memasangkan ukiran tersebut di jilbab saya.
Itulah kekuatan ukhuwah, mampu melewati batas-batas geografis dan segala perbedaan yang menghalangi. Dan begitulah ukhuwah, mampu memberikan kepercayaan pada pertemuan pertama. Karena ukhuwah dibangun atas dasar keimanan dan kesatuan matlamat.
Uhibbukifillah….semoga kita dipertemukan kembali di tempat dan waktu terindah, di Jannah-Nya kelak…Amin.
Malaysia, 26 Desember 2011

*)entah seperti apa penulisan yang benar karena ditulis dalam huruf Thai

Wednesday, November 16, 2011

Kisah Sekian Ratus Tahun Lalu...


Sekian ratus tahun yang lalu…

Di malam yang sunyi, di dalam rumah sederhana yang tidak seberapa luasnya… seorang istri tengah menunggu kepulangan suaminya. Tak biasanya sang suami pulang larut malam. Sang istri bingung…. hari sudah larut dan ia sudah sangat kelelahan dan mengantuk. Namun, tak terlintas sedikitpun dalam benaknya untuk segera tidur dan terlelap di tempat tidur suaminya. Dengan setia ia ingin tetap menunggu… namun, rasa ngantuk semakin menjadi-jadi dan Sang suami tercinta belum juga datang.

Tak berapa lama kemudian….
seorang laki-laki yang sangat berwibawa lagi luhur budinya tiba di rumahnya yang sederhana.

Laki-laki ini adalah suami dari sang istri tersebut.
Malam ini beliau pulang lebih lambat dari biasanya, kelelahan dan penat sangat terasa.

Namun, ketika akan mengetuk pintu… terpikir olehnya Sang istri yang tengah terlelap tidur…. ah, sungguh ia tak ingin membangunkannya.
Tanpa pikir panjang, ia tak jadi mengetuk pintu dan seketika itu juga menggelar sorbannya di depan pintu dan berbaring diatasnya.
Dengan kelembutan hati yang tak ingin membangunkan istri terkasihnya, Sang suami lebih memilih tidur di luar rumah..
di depan pintu…

dengan udara malam yang dingin melilit…
hanya beralaskan selembar sorban tipis.
Penat dan lelah beraktifitas seharian, dingin malam yang menggigit tulang ia hadapi..
karena tak ingin membangunkan istri tercinta. Subhanallah…

Dan ternyata, di dalam rumah..
persis dibalik pintu tempat sang suami menggelar sorban dan berbaring diatasnya..
Sang istri masih menunggu, hingga terlelap dan bersandar sang istri di balik pintu.

Tak terlintas sedikitpun dalam pikirinnya tuk berbaring di tempat tidur, sementara suaminya belum juga pulang.
Namun, karena khawatir rasa kantuknya tak tertahan dan tidak mendengar ketukan pintu Sang suami ketika pulang, ia memutuskan tuk menunggu Sang suami di depan pintu dari dalam rumahnya.

malam itu… tanpa saling mengetahui, sepasang suami istri tersebut tertidur berdampingan di kedua sisi pintu rumah mereka yang sederhana… karena kasih dan rasa hormat terhadap pasangan.. Sang Istri rela mengorbankan diri terlelap di pintu demi kesetiaan serta hormat pada Sang suami dan Sang suami mengorbankan diri tidur di pintu demi rasa kasih dan kelembutan pada Sang istri.

dan Nun jauh di langit….
ratusan ribu malaikat pun bertasbih….
menyaksikan kedua sejoli tersebut…

SUBHANALLAH WABIHAMDIH

betapa suci dan mulia rasa cinta kasih yang mereka bina
terlukis indah dalam ukiran akhlak yang begitu mempesona…
saling mengasihi, saling mencintai, saling menyayangi dan saling menghormati…

Tahukah Anda… siapa mereka..?

Sang suami adalah Muhammad bin Abdullah, Rasulullah SAW dan Sang istri adalah Sayyidatuna Aisyah RA binti Abu Bakar As-Sidiq.
Merekalah sepasang kekasih teladan, suami istri dambaan, dan merekalah pemimpin para manusia, laki-laki dan perempuan di dunia dan akhirat.

Semoga rahmat ALLAH senantiasa tercurah bagi keduanya, dan mengumpulkan jiwa kita bersama Rasulullah SAW dan Sayyidatuna Aisyah RA dalam surgaNYA kelak.
dan Semoga ALLAH SWT memberi kita taufiq dan hidayah tuk bisa meneladani keduanya.


sumber : kembanganggrek